MENARIK mengamati kasus pengeroyokan seorang tahanan oleh sekitar tiga tahanan lainnya di salah satu penjara di Aceh. menariknya adalah karena pelaku menganggap korban sebagai cuak. Sang korban dianggap sebagai pembocor informasi kepada polisi, sehingga sejumlah “koleganya” dapat ditangkap oleh polisi dan dijebloskan ke dalam penjara (Serambi, 28 Mei 2011).
Ungkapan cuak dalam kasus tersebut, tentu tidak berdiri sendiri. Para pelaku berharap bahwa pemukulan tersebut dapat dibenarkan -setidaknya dalam lingkaran mereka sendiri, karena sebagai “dosa” yang harus ditebus oleh seseorang yang melakukan pembocoran informasi.
Posisi yang tidak berdiri sendiri itulah, kita bisa melihat dua hal yang terkait dengan fenomena penyebutan cuak ini. Hal menarik pertama, penggunaan kata cuak, pada dasarnya upaya memberi kesan yang sangat negatif. Kesan tersebut, bila kita buka sekilas masa lalu Aceh, merupakan sesuatu yang dibentuk agar hadir suasana kebencian yang dalam kepada yang bersangkutan. Pada kenyataannya, kebencian (bahkan suasana balas dendam) tersebut memang bisa lahir. Kita bisa membuka edisi suratkabar setelah status operasi jaring merah dicabut di Aceh (1998), ada sekelompok orang yang memburu orang-orang yang dianggap terlibat dalam cuak tersebut. Kemudian kondisi penegakan hukum yang hampir- hampir tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Di samping itu, bila kita ikuti berita suratkabar pada waktu itu, orang-orang yang dianggap sebagai cuak dianggap bisa langsung dihabisi. Alasan kelompok tersebut, karena dua kemungkinan: (1) dianggap cuak karena memberikan informasi mengenai keberadaan pemberontak kepada aparat negara; (2) dalam kenyataannya dianggap bahwa informasi yang disampaikan tersebut tidak seluruhnya benar. Ada upaya untuk melibatkan orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah, tapi dilaporkan seolah-olah yang bersangkutan sebagai orang- orang yang berhak dihukum di luar pengadilan yang semestinya. Kemungkinan yang kedua tersebut dipandang sebagai perbuatan yang mengakibatkan banyak orang lain yang menjadi korban.
Melalui dua kemungkinan tersebut, kita menjadi tahu bahwa posisi cuak adalah informan atau pemberi informasi. Malah bila kita nonton dalam film-
film perang, informan sengaja dibiaya kehidupannya untuk melakukan satu tugas saja, yakni
memberikan informasi sebanyak- banyaknya kepada pengguna.
Di samping masa konflik, penggunaan kata cuak juga ditemui dalam beberapa catatan sejarah perlawanan Aceh terhadap Belanda. Pada masa melawan Belanda, orang-orang yang dianggap cuak, diperlakukan secara kejam oleh orang-orang yang berjuang membebaskan Aceh. Golongan orang-orang yang dianggap cuak
waktu itu adalah orang-orang lokal yang secara khusus memberikan informasi kepada tentara Belanda.
Dari gambaran tersebut, sesungguhnya saya hanya ingin mengungkapkan bahwa betapa negatifnya istilah cuak dalam masyarakat kita. Mungkin karena
begitu negatifnya seseorang yang sudah ditabal nama tersebut, sehingga dalam lingkaran mafia ganja sekalipun, istilah itu juga sudah dipakai.
Pemakaian istilah cuak di kalangan mereka sendiri, bisa saja dijelaskan melalui dua optik. Bila kita gunakan optik orang yang menyebut, maka pemakaian itu adalah penghukuman. Dalam hal ini orang-orang yang menyalahgunakan narkotika semacam memberi hukuman kepada orang-orang yang membocorkan informasi mereka kepada aparat penegak hukum. Sedangkan optik yang kedua, adalah apa yang dipahami oleh orang yang di luar mereka, bisa saja sebagai usaha untuk membantu mencegah dan memberantas narkotika.
Hal menarik kedua dari fenomena penyebutan cuak, adalah munculnya sebuah pertanyaan dari benak kita, yakni seberapa tepatkah istilah cuak digunakan oleh kita masyarakat umum terhadap pembocor informasi dalam lingkaran mafia narkotika tersebut? Lantas bagaimana dengan mereka yang merupakan bagian dari pengguna narkotika itu? Bukankah menyalahgunakan narkotika itu mutlak melanggar hukum? Ia merupakan perbuatan pidana? Lalu apakah orang yang ingin membantu penegakan hukum bisa disebut dengan cuak?
Gambaran yang kedua, harus disandingkan dengan kenyataan betapa dalam lingkungan penyalahgunaan narkotika (khususnya jenis ganja), memiliki satu “hukum” yang sepertinya sesama mereka tidak boleh saling
membocorkan. “Hukum” seperti ini, mungkin sama saja dengan pemakai narkotika jenis apapun. Malah dalam lingkaran mafia narkotika jaringan global, orang- orang dari lingkaran mereka bila kemudian keluar dan di luar kontrol, maka bisa saja dihabisi agar mereka yang lain bisa terselamatkan.
Mengenai tepat tidaknya penggunaan ini, kembali lagi ke posisi yang tadi. Orang yang berada dalam lingkaran tersebut,
tentu akan memandang berbeda dengan orang-orang yang di luarnya. Bentuk penghukuman yang diperlakukan tersebut, membuat istilah ini tidak masalah bagi mereka sendiri. Tentu istilah ini berbeda bagi kita masyarakat umum.
Perbedaan tersebut, terutama bila kita lihat pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU tersebut, peran serta masyarakat dimungkinkan. Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Bentuk keikutsertaan masyarakat, bisa diwujudkan melalui mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana. Orang- orang yang sengaja tidak memberikan informasi malah bisa diancam pidana.
Semangat lahirnya UU itu sendiri adalah upaya perwujudkan kondisi masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spritual. Hal tersebut terkait dengan perbaikan kualitas sumberdaya manusia sebagai salah satu modal
dalam pembangunan.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, maka pembocor informasi untuk mencegah dan memberantas narkotika, merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat dalam membantu pemerintah dalam memperbaiki kualitas masyarakat. Dan ujungnya adalah menyukseskan pembangunan dan perbaikan kesejahteraan. Malah orang yang
tidak memberikan informasi, tidak saja ia berada posisi “tidak membantu”, tapi malah ia bisa diancam pidana.
Jadi dalam posisi ini, sebutan cuak tidak tepat. Lain persoalan bagi kalangan mereka sendiri yang memiliki “hukum” tertentu yang berlaku dalam lingkaran pengguna narkotika.
Dengan adanya istilah ini dalam lingkaran mafia narkotika, jelas membutuhkan kerja keras aparat penegak hukum untuk menemukan berbagai kasus tersebut. Logikanya adalah, orang-orang yang berada dalam lingkaran tersebut tidak akan memberikan informasi apapun kepada siapapun. Kondisi ini jelas bisa menyulitkan dalam upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika. Di sini kecerdikan aparat penegak hukum semakin dibutuhkan. Kecerdikan aparat penegak hukum tidak boleh kalah dengan kecerdikan para mafia narkotika.
0 comments:
Post a Comment