Home » , » Guru ‘ Meugampong’

Guru ‘ Meugampong’

Posted by Kupisanger on Thursday, June 23, 2011


MENJADI guru berarti bersiap memikul tanggung jawab menjadi seorang transformator pengetahuan dan ilmu kepada anak didik dengan baik dan benar, sehingga anak didik mampu menjadi seorang agen ilmu sesuai yang diharapkan. Dalam pada itu, maka guru bertanggung jawab penuh dalam pembentukan generasi berilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Maka, selain mesti professional dan menguasai betul ilmu yang akan diajarkan, guru mesti juga menguasai cara transfer ilmu tersebut dengan baik agar seluruh siswa mampu memahami konsep dan teori yang diajarkan.
Sangat disayangkan, memang, ketika guru tidak menguasai teknik penyampaian pelajaran dengan benar. Selama ini, faktanya sangat banyak guru yang gagal dalam hal tersebut sehingga anak didiknya mesti meraba-raba dalam memahami teori yang dipaparkan. Komunikatif. Konsep inilah yang selama ini salah dipahami oleh para guru. Dalam pada penyampaian informasi kepada siswa, banyak sekali guru yang tidak komunikatif di ruang kelasnya.

Salah kaprah dalam memaknai kata “komunikatif” inilah yang sebenarnya menyebabkan pembelajaran di sekolah menjadi gagal, tidak efektif, dan tujuan pembelajaran tidak tercapai seperti apa yang diharapkan. Fenomena ini muncul disebabkan oleh pemahaman guru mentransfer ilmu dengan gaya “gampong” atau disebabkan oleh sikap guru yang “meugampong”. Maksudnya, guru mentransformasi ilmu dengan bahasa “gampong”, menyesuaikan diri dengan suasana dan tempat ia mengajar,
atau guru tersebut memang tidak begitu pandai berbahasa Indonesia sehingga mau tidak mau mesti menggunakan bahasa “gampong” sebagai media penyampaian teori pembelajaran. Guru yang demikianlah yang disebut guru “meugampong”. Komunikatif yang dimaksud dalam syarat menjadi guru yang baik bukan berarti guru mampu menyesuaikan bahasa ajar dengan tempat dan dominasi siswa di tempat tersebut, menganggap bahwa semua siswa akan mampu memahami isi pembelajaran yang disampaikan dengan bahasa yang dominan digunakan oleh masyarakat setempat, menganggap semua siswa mampu memahami konsep- konsep yang dipaparkan sebab guru menggunakan bahasa tutur sehari-hari siswa yang dominan. Tapi lebih kepada menyamaratakan hak siswa untuk tahu dan menguasai ilmu tersebut dengan mangajar menggunakan bahasa standar pendidikan-bahasa Nasional- sebagai media transformasi pengetahuan. Dengan media bahasa yang baik dan komunikatif saja seluruh siswa akan mampu memahami pemaparan teori dari ilmu yang ingin ditransformasi sehingga teori tersebut benar-benar sampai dan dipahami oleh seluruh siswa.
Di banyak tempat, guru-guru berkomunikasi dalam kelas menggunakan bahasa daerah karena menganggap siswa- siswanya rata-rata mampu menggunakan bahasa daerah tersebut agar lebih mudah teori yang dipaparkan dimengerti oleh seluruh peserta ajar. Guru-guru tersebut berpendapat bahwa menggunakan bahasa daerah sebagai media penyampaian ilmu akan lebih efektif, karena siswa sudah menguasai bahasa tersebut sebagai bahasa pertama. Ini tentu pemahaman yang salah. Sebab, belum tentu semua anak didik dalam satu kelas yang sama mampu berkomunikasi dengan bahasa daerah yang sama. Namun, guru boleh saja menggunakan bahasa daerah apabila ia sudah yakin betul siswanya mampu berkomunikasi dalam bahasa tersebut atau setidaknya seluruh siswa mampu memahami bahasa tersebut. Sebab jika tidak demikian, tentu ini akan merusak proses transformasi pengetahuan.
Pada kenyataannya hampir di seluruh sekolah memiliki siswa yang sama sekali tidak pandai berbahasa daerah, entah karena sudah dibiasakan di rumah atau barangkali ia siswa pindahan dari daerah lain yang notabenenya memang berbahasa Nasional. Inilah yang perlu dipertimbangkan oleh guru. Dari itu, guru perlu tahu betul siswa yang bagaimana yang sedang atau bakal dihadapinya. Baiklah jika siswanya sudah berusia remaja atau mendekati dewasa, mereka barangkali akan bertanya pada temannya tentang teori yang disampaikan guru di kelas. Namun, bagaimana jika siswanya masih anak-anak? Yang pemalu, barangkali? Sangat disayangkan jika hanya sebab kesalahan penafsiran guru dalam menggunakan bahasa sebagai media transformasi ilmu nantinya berbuntut pada nilai atau pengetahuan siswa yang buruk.
Guru tentu saja perlu memikirkan kembali efek yang muncul dari pemakaian bahasa daerah dalam proses belajar mengajarnya. Setidaknya ada dua efek besar yang kemudian muncul dari sebab guru menggunakan bahasa daerah dalam proses tersebut. Pertama, tidak tersampaikannya materi pembelajaran kepada siswa secara menyeluruh sehingga kemudian siswa tertentu tidak tahu apa-apa tentang bidang ilmu yang sedang atau sudah diajarkan. Hal ini berimbas pada proses pembelajaran selanjutnya, maka kemudian terciptalah generasi awam tentang ilmu tersebut. Tanpa disadari, hal ini menjadi salah satu pemicu merosotnya nilai pendidikan.
Kedua, akan muncul generasi yang kurang mampu menggunakan bahasa kedua- bahasa nasional-dalam pergaulan dan kehidupannya di masa depan.
Efek jangka panjangnya terletak pada kepercayaan diri anak didik nantinya dalam berkolaborasi dengan perkembangan masa dan ia akan kurang berkompetensi dalam menghadapi perkembangan zaman nantinya.
Dari itu, demi mengefektifkan pembelajaran guru perlu sekali mempertimbangkan kembali bahasa yang digunakan dalam proses pembelajarannya. Guru perlu tahu betul lingkungan kelasnya, anak-anak didiknya, dan makna komunikatif yang sebenarnya. Menyesuaikan bahasa dengan seluruh siswa tentu lebih baik daripada menyesuaikannya dengan siswa yang dominan sehingga siswa berbahasa minoritas mesti belajar dua hal: bahasa tutur siswa dominan dan pelajaran yang diajarkan. Berbahasalah yang baik dan sesuai dengan standar Nasional agar pembelajaran bisa sampai kepada siswa seperti yang diharapkan.


2 comments:

  1. suka sama postingan kek gini., murni pemikiran sendiri.,
    saran aku ada gambarnya, ilustrasi'a jg boleh., misal'a ada guru yg lagi ngajar.,

    &keep writing .hehe

    ReplyDelete

.comment-content a {display: none;}