HASIL pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Aceh Selatan membuktikan
bahwa Partai Aceh, partai yang berkuasa di Aceh saat ini telah rapuh,
baik secara struktur maupun secara kekuatan dalam menarik simpati
masyarakat. Terlepas konflik internal yang terjadi, hal ini tentu akan
berdampak panjang pada pemilihan legislatif pada 2014 mendatang.
Kepercayaan
publik yang diberikan pada 2009 yang lalu belum mampu memaksimalkan
suara partai ini akan menang di setiap daerah, jika kita melihat
beberapa hasil pemilihan kepala daerah di Provinsi Aceh, ada 8
kabupaten/kota yang membuat Partai Nasional tetap bertengger di atas,
yakni: Aceh Tamiang, Nagan Raya, Bener Meriah, Aceh Tengah, Banda Aceh,
Gayo Luwes, Aceh Tenggara dan terakhir Aceh Selatan.
Berdasarkan
dari jumlah suara sementara yang masuk dari pemilihan kepala daerah di
Aceh Selatan, pasangan SAKA ini meraup 33.377 suara (31,35%) yang
diusung partai Nasional (Partai Demokrat, PAN dan PKPB), pasangan nomor
urut 5 yang diusung Partai Aceh, Muhammad Natsir/Zulkifli (Wapang)
menempati urutan kedua dengan perolehan suara sementara 22.258 suara
(20,90%).
Sementara jagoan Partai Golkar dan koalisi, yakni
pasangan Muhammad Saleh P SPdI/Ir H Ridwan A Rachman MMT (SAMAN) berada
di posisi ketiga dengan perolehan suara sementara 21.207 (19.92%).
Sedangkan pasangan nomor urut 4, Drs H T Darisman/Khaidir Amin SE (DK)
yang diusung PKPI dan SIRA, berada di posisi keempat dengan perolehan
suara sementara 13.799 suara (12,96%).
Pasangan nomor urut 6,
Wahyu M Wali Putra SH/Irwan SE MSi (Wali) yang diusung sejumlah parpol
nonkursi, berada di urutan lima dengan perolehan suara sementara 13.792
(12,95%). Dan, satu-satunya pasangan yang maju dari jalur independen
(nomor urut 1), Hasmar Yulia SPd/Mudasir SKom berada di urutan buncit
dengan memperoleh suara sementara 2.049 (1,92%), dari jumlah Daftar
Pemilih Tetap (DPT) 147.862 jiwa (http://aceh.tribunnews.com).
Kekalahan Partai Aceh
Kekalahan
Partai Aceh yang terjadi pada Pemilukada beberapa daerah di atas
membuktikan atau mementahkan bahasa yang sering ada di pasar ikan atau
di warung kopi yang menyatakan bahwa siapa pun yang didukung oleh Partai
Aceh maka akan menang. Terlepas ada kecurangan atau apapun, karena yang
namannya politik itulah bentuk dari apresiasi yang dibuktikan oleh
masyarakat dalam sebuah demokrasi terbuka.
Kemenangan yang
dihasilkan oleh SAKA di Aceh Selatan membuktikan bahwa partai nasional
masih mampu dan kuat menarik simpati masyarakat, sehingga diharapkan 3
partai lokal (PDA, PNA dan PA) yang akan berebut kursi di Pemilu 2014
mendatang harus betul-betul menyiapkan kekuatan, karena apabila tidak,
maka jangan diharapkan masa depan partai lokal akan bertahan lama di
Provinsi Aceh.
Sebenarnya apabila kita melihat hasil Pemilu
legislatif 2009 yang lalu serta hasil perolehan suara pemilihan Gubenur
Aceh yang lalu yang memenangkan pasangan Zikir satu putaran harusnya
menjadi kekuatan yang terus diperjuangkan. Bukan malah membuat partai
yang berkuasa saat ini harus gulung tikar ke depan dari kursi DPRA dan
DPRK. Kalaulah ini terjadi berarti kepercayaan masyarakat Aceh terhadap
partai lokal sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
Dari beberapa
hasil pemilukada sudah seharusnya partai lokal di Aceh memberikan yang
terbaik terhadap rakyat jangan asyik duduk di kursi memikirkan proyek
dengan hanya komunikasi melalui handphone semata. Tetapi membuktikan
dirinya turun ke lapangan melihat kebutuhan yang diharapkan masyarakat.
Jargon kampanye
Seharusnya
jargon kampanye tentang “kesejahteraan rakyat” harus terus digalakkan
agar hasil suara sebagaimana diperoleh pada Pemilu 2009 lalu akan
berulang kembali di Pemilu 2014 nanti. Untuk itu apa saja yang harus
dilakukan, ada beberapa model dan konsep yang diterapkan agar jargon
tersebut terjaga.
Berikut beberapa model negara kesejahteraan
yang bisa menjadi acuan untuk dikembangkan: Pertama, model universal
yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia,
Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan
sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran
negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja
negara.
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan
Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara
melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim
jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni
pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model
residual yang dianut oleh Amerika Serikat, Inggris, Australia dan
Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada
kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah
menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial
dan rehabilitasi sosial kepada swasta.
Dan, keempat, model
minimal yang dianut oleh negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani,
Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina,
Srilangka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah
10% dari total pengeluaran negara. Dengan catatan, kecilnya anggaran
kesejahteraan sosial untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan,
tampaknya terkait erat dengan keterbatasan anggaran negara secara
keseluruhan.
Dari keempat model kesejahteraan sosial di atas,
hendaknya bisa kita jadikan acuan dalam pembangunan kesejahteraan
sosial. Khususnya kita di Aceh melalui dana otonomi khusus (Otsus) akan
mampu membuat masyarakat sejahtera, karena Aceh beda dengan daerah lain
yang ada di Indonesia. Sekarang bukan saatnya lagi kita mengutamakan
kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus memikirkan nasib rakyat
keseluruhan. Semoga!
Sumber : Serambinews.com
Partai Berkuasa Rapuh
Posted by Kupisanger on Thursday, January 31, 2013
|
0 comments:
Post a Comment