Home » , » Partai Berkuasa Rapuh

Partai Berkuasa Rapuh

Posted by Kupisanger on Thursday, January 31, 2013


HASIL pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Aceh Selatan membuktikan bahwa Partai Aceh, partai yang berkuasa di Aceh saat ini telah rapuh, baik secara struktur maupun secara kekuatan dalam menarik simpati masyarakat. Terlepas konflik internal yang terjadi, hal ini tentu akan berdampak panjang pada pemilihan legislatif pada 2014 mendatang.

Kepercayaan publik yang diberikan pada 2009 yang lalu belum mampu memaksimalkan suara partai ini akan menang di setiap daerah, jika kita melihat beberapa hasil pemilihan kepala daerah di Provinsi Aceh, ada 8 kabupaten/kota yang membuat Partai Nasional tetap bertengger di atas, yakni: Aceh Tamiang, Nagan Raya, Bener Meriah, Aceh Tengah, Banda Aceh, Gayo Luwes, Aceh Tenggara dan terakhir Aceh Selatan.

Berdasarkan dari jumlah suara sementara yang masuk dari pemilihan kepala daerah di Aceh Selatan, pasangan SAKA ini meraup 33.377 suara (31,35%) yang diusung partai Nasional (Partai Demokrat, PAN dan PKPB), pasangan nomor urut 5 yang diusung Partai Aceh, Muhammad Natsir/Zulkifli (Wapang) menempati urutan kedua dengan perolehan suara sementara 22.258 suara (20,90%).

Sementara jagoan Partai Golkar dan koalisi, yakni pasangan Muhammad Saleh P SPdI/Ir H Ridwan A Rachman MMT (SAMAN) berada di posisi ketiga dengan perolehan suara sementara 21.207 (19.92%). Sedangkan pasangan nomor urut 4, Drs H T Darisman/Khaidir Amin SE (DK) yang diusung PKPI dan SIRA, berada di posisi keempat dengan perolehan suara sementara 13.799 suara (12,96%).

Pasangan nomor urut 6, Wahyu M Wali Putra SH/Irwan SE MSi (Wali) yang diusung sejumlah parpol nonkursi, berada di urutan lima dengan perolehan suara sementara 13.792 (12,95%). Dan, satu-satunya pasangan yang maju dari jalur independen (nomor urut 1), Hasmar Yulia SPd/Mudasir SKom berada di urutan buncit dengan memperoleh suara sementara 2.049 (1,92%), dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) 147.862 jiwa (http://aceh.tribunnews.com).

 Kekalahan Partai Aceh
Kekalahan Partai Aceh yang terjadi pada Pemilukada beberapa daerah di atas membuktikan atau mementahkan bahasa yang sering ada di pasar ikan atau di warung kopi yang menyatakan bahwa siapa pun yang didukung oleh Partai Aceh maka akan menang. Terlepas ada kecurangan atau apapun, karena yang namannya politik itulah bentuk dari apresiasi yang dibuktikan oleh masyarakat dalam sebuah demokrasi terbuka.

Kemenangan yang dihasilkan oleh SAKA di Aceh Selatan membuktikan bahwa partai nasional masih mampu dan kuat menarik simpati masyarakat, sehingga diharapkan 3 partai lokal (PDA, PNA dan PA) yang akan berebut kursi di Pemilu 2014 mendatang harus betul-betul menyiapkan kekuatan, karena apabila tidak, maka jangan diharapkan masa depan partai lokal akan bertahan lama di Provinsi Aceh.

Sebenarnya apabila kita melihat hasil Pemilu legislatif 2009 yang lalu serta hasil perolehan suara pemilihan Gubenur Aceh yang lalu yang memenangkan pasangan Zikir satu putaran harusnya menjadi kekuatan yang terus diperjuangkan. Bukan malah membuat partai yang berkuasa saat ini harus gulung tikar ke depan dari kursi DPRA dan DPRK. Kalaulah ini terjadi berarti kepercayaan masyarakat Aceh terhadap partai lokal sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

Dari beberapa hasil pemilukada sudah seharusnya partai lokal di Aceh memberikan yang terbaik terhadap rakyat jangan asyik duduk di kursi memikirkan proyek dengan hanya komunikasi melalui handphone semata. Tetapi membuktikan dirinya turun ke lapangan melihat kebutuhan yang diharapkan masyarakat.

 Jargon kampanye
Seharusnya jargon kampanye tentang “kesejahteraan rakyat” harus terus digalakkan agar hasil suara sebagaimana diperoleh pada Pemilu 2009 lalu akan berulang kembali di Pemilu 2014 nanti. Untuk itu apa saja yang harus dilakukan, ada beberapa model dan konsep yang diterapkan agar jargon tersebut terjaga.

Berikut beberapa model negara kesejahteraan yang bisa menjadi acuan untuk dikembangkan: Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.

Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).

Ketiga, model residual yang dianut oleh Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial kepada swasta.

Dan, keempat, model minimal yang dianut oleh negara-negara latin  (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilangka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10% dari total pengeluaran negara. Dengan catatan, kecilnya anggaran kesejahteraan sosial untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan, tampaknya terkait erat dengan keterbatasan anggaran negara secara keseluruhan.

Dari keempat model kesejahteraan sosial di atas, hendaknya bisa kita jadikan acuan dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Khususnya kita di Aceh melalui dana otonomi khusus (Otsus) akan mampu membuat masyarakat sejahtera, karena Aceh beda dengan daerah lain yang ada di Indonesia. Sekarang bukan saatnya lagi kita mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus memikirkan nasib rakyat keseluruhan. Semoga!

Sumber : Serambinews.com


0 comments:

Post a Comment

.comment-content a {display: none;}