TERDAPAT beberapa nama media cetak lokal selain Serambi Indonesia yang juga getol mengangkat berbagai hal yang berhubungan dengan Aceh. Namun, keberadaan mereka tersebut bersama kekuatan jangkauannya yang masih sangat terbatas. Lantas bagaimana dengan dunia maya?
Dalam acara blogshop yang diselenggarakan kompasiana.com di The Pade Hotel beberapa waktu lalu, Iskandar Zulkarnaen yang merupakan awak blog yang berada di bawah payung Kompas tersebut mengulas banyak hal. Spesifik yang berkaitan dengan Citizen Journalism (Jurnalisme warga), sebuah konsep yang sebenarnya sudah lama dikenal masyarakat internasional, pelibatan masyarakat non jurnalis untuk melakukan reportase dalam berbagai bentuk yang ‘ mirip’ dengan yang dilakukan jurnalis. Di sana, Iskandar bercerita bahwa, hari ini animo masyarakat internasional untuk mempergunakan media internet untuk mencari informasi dan kemudian membaginya kembali via media yang sama sangat besar. Ini menjadi sebuah sinyal yang bahwa keberadaan internet dengan kebutuhan khalayak terhadap informasi saling bersahutan. Tak pelak, seorang TKI di Taiwan, Okti Lie terangkat namanya hanya karena ia bisa menghadirkan kabar yang ia dapati langsung di negara tempatnya bekerja; salah
satu mie instant produksi Indonesia yang cukup terkenal dilarang di sana, dan ditarik dari berbagai pusat perbelanjaan. Tulisan tersebut membawa ekses bahkan ke tingkatan diplomasi dua negara, Indonesia dan Taiwan.
Nah, yang digambarkan oleh Iskandar merupakan sebuah contoh kecil dampak dari internet. Membawa pengaruh cukup besar meski yang ia tulis dan dipublikasikannya di dunia maya mungkin jauh dari kepiawaian seorang jurnalis dalam menyusun tiap abjad untuk memberitakan suatu peristiwa.
Bagaimana ketika kemudian mencoba mengaitkan fenomena (kekuatan) internet itu dengan Aceh? Cukup menggembirakan, hari ini internet sudah menjadi bagian yang dekat dengan kehidupan orang Aceh. Dibuktikan
dengan mudahnya menemukan warung kopi yang dulu hanya menyediakan koran-koran daerah. Sekarang sudah banyak yang dilengkapi dengan wi-fi. Sehingga pengunjung warung kopi tidak melulu harus menunggu sebuah koran selesai dibaca orang lain untuk ia bisa mendapatkan informasi. Namun, ia bisa dengan leluasa meletakkan netbook di meja, dan bisa berselancar dengan leluasa mencari berbagai macam informasi yang berserakan di internet.
Cuma, harus dilihat lagi dengan jujur, apakah kemudahan akses internet yang mudah didapat bahkan dari warung kopi sudah dengan maksimal dipergunakan oleh masyarakat Aceh?
Berdasar temuan saya di beberapa kabupaten sampai dengan Banda Aceh sendiri sebagai pusat provinsi. Internet sejauh ini cenderung hanya dipergunakan sebagai hiburan saja, tidak lebih. Di sana, kecenderungan yang paling mencuat adalah bermain game online, chatting atau bahkan (maaf) mencuri berbagai artikel yang ada di sana untuk kemudian diberikan pada pengajar yang selanjutnya diklaim sebagai karyanya (yang pernah saya temukan dari beberapa mahasiswa). Sedikit sekali pengguna internet di Aceh yang menjadikan media internet untuk mengkampanyekan daerahnya. Atau, mempergunakannya untuk berbagai hal positif lainnya; seperti, untuk mencari peluang yang berhubungan dengan bisnis yang bisa dikerjakannya. Kalau pun ada, itu hanya beberapa saja. Mungkin persoalan itu tak urung, boleh jadi juga dipengaruhi oleh kurangnya seminar atau pelatihan-pelatihan yang diadakan di Aceh yang mengangkat soal bagaimana berinternet sehat dan produktif.
Terkait dengan pelatihan internet itu, yang saya amati, getol dilakukan oleh salah satu LSM Aceh, Aceh Information and Technology Development, hanya pada kisaran 2008 lalu saja. Sedang selanjutnya, praktis berkisar sekali saja per tahun. Itu juga biasanya inisiatif korporasi yang memiliki kepentingan dengan itu.
Di luar Aceh, taruhlah Jawa Barat sebagai salah satu daerah yang pernah saya akrabi. Di sana internet cenderung dimanfaatkan untuk tujuan- tujuan yang lebih menguntungkan. Misal saja mereka memiliki usaha kerajinan, cuma dengan membuat akun blog semisal Blogspot, Wordpress, Multiply atau bahkan Facebook mereka bisa meraup pelanggan berjumlah besar. Mendatangkan isi pundi-pundi yang tidak sedikit, bahkan meraup untung sampai bermiliaran. Kemudian, mereka juga kerap pergunakan internet untuk mengampanyekan daerahnya ke dunia luar lewat internet. Sebuah keuntungan yang tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri, namun bahkan mengangkat daerahnya. Mereka bercerita banyak tentang wisata yang ada di sana. Ini tentu sebuah bentuk kampanye yang cukup positif menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke sana. Jika wisata kita sebut sebagai contoh, ini juga akan membawa manfaat untuk penduduk lokal yang kekurangan lahan pekerjaan untuk membuka usaha-usaha yang memungkinkan
di tempat yang kerap dikunjungi wisatawan.
Kembali ke Aceh, dengan berbagai wacana yang sedang digencarkan, semestinya ini juga bisa disambut hangat oleh pengguna internet. Sebut saja berhubungan dengan program wisata islami, orang Aceh yang sudah familiar dengan internet bisa mempergunakannya untuk menulis apa saja yang mendukung program tersebut. Menjelaskan pada dunia luar bahwa embel-embel islami tidak menjadi ‘ drakula’ yang memamah urat leher mereka ketika mereka memang bisa menjaga rambu-rambu ketentuan yang ditetapkan di daerah. Ini sebagai gambaran saja. Intinya, memang ada banyak aktifitas yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan internet untuk tujuan-tujuan yang lebih berharga dan produktif.
seperti kaum2 terpelajar di Aceh harus di arak ke arah Go Blog dan mengenal lebih jauh apa itu social media dan tidak melulu social "warkop" :D
ReplyDeletesalam