Jaga malam bagi laki-laki dewasa di Aceh, sudah menjadi memoar yang sulit untuk dilupakan. Bahkan bukan tidak mungkin, banyak di antara masyarakat sendiri yang mengira bahwa jaga malam tersebut merupakan rutinitas yang wajib bagi masyarakat di Aceh, dan Warga Negara Indonesia pada umumnya.
Dalam sejarah lokal Aceh, kegiatan jaga malam sangat populer di kala Aceh masih dalam situasi konflik bersenjata. Medio 1990-an, rutinitas ini sangat akrab bagi masyarakat di kampung-kampung, khususnya di wilayah pesisir timur Aceh (Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur). Alasan pemerintah pada saat itu, masyarakat perlu dilibatkan dalam menjaga keamanan lingkungannya masing-masing dari ancaman “pengacau keamanan”.
Karena itu pula, kemudian kegiatan jaga malam lahir sebagai “kebijakan” resmi kepala daerah bersama unsur Muspida setempat. Oleh karena sebuah kebijakan, maka berimplikasi menjadi aturan yang bersifat mengikat, ada pihak yang memberi perintah dan pihak yang diperintah. Posisi ini jelas tidak seimbang, bahkan menempatkan masyarakat dalam posisi dilematis.
Disebut dilematis, karena masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit dan serba salah. Ibarat memakan ‘buah simalakama’. Apabila berhalangan atau tidak ikut jaga malam, maka ia harus bersiap-siap berhadapan dengan aparat keamanan. Bahkan yang paling ekstrem, ia tergolong warga yang patut dicurigai dan sampai harus menjalani “pembinaan khusus” di pos Satuan Taktis (Sattis).
Di samping itu, rasa khawatir yang mendalam jelas menghantui setiap laki-laki di wilayah tersebut yang tiba gilirannya untuk berjaga. Bagaimana tidak, perasaan mereka selalu was-was karena dijadikan “tameng hidup” kalau-kalau peristiwa kontak senjata terjadi dan tidak dapat dielakkan. Praktis situasi semacam itu pun, menempatkan masyarakat sebagai korban. Alih-alih meregang nyawa karena peluru nyasar, minimal terkena tindakan disiplin ala militer, karena dianggap lalai dan ceroboh sehingga “pengacau keamanan” bisa masuk kampung.
Kesiagaan warga
Jaga malam dapat dinilai sebagai bentuk kesiagaan warga di lingkungan masing-masing, bahwa terdapat situasi keamanan yang bersifat genting atau darurat. Walaupun penilaian dan penetapan status tersebut, menjadi ranah pihak keamanan, dalam hal ini pihak kepolisian sebagai komponen Negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Untuk diketahui pula, situasi Kamtibmas menandai adanya gangguan dari dalam (semacam tindak kriminal biasa). Sebaliknya situasi darurat dengan status tertentu, sebagai akibat dari adanya potensi gangguan dari luar dan disintegrasi, menjadi tugas pokok Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lalu kemudian, timbul pertanyaan dalam benak masyarakat, mengapa tugas-tugas polisional seperti jaga malam dibebankan kepada masyarakat? Atau jaga malam sebagaimana telah berjalan di sejumlah wilayah selama ini, merupakan indikasi dari adanya bentuk-bentuk gangguan keamanan dari luar biasa sebagaimana telah dijelaskan di atas?
Kalaulah pendapat itu benar, pihak manakah yang patut dicurigai dan berpotensi melakukan gangguan tersebut. Maka penting dijelaskan secara resmi oleh otoritas setempat, yakni kepolisian daerah mengenai situasi keamanan di Aceh saat ini. Oleh karena secara kasat mata, Aceh saat ini dalam keadaan yang kondusif, damai dan bebas dari konflik apa pun. Kecuali pandapat masyarakat ini salah, dan situasi sebenarnya adalah sebaliknya, di mana kegentingan atau keadaan darurat hanya menjadi konsumsi internal elite keamanan dan pemerintah daerah semata.
Persoalan jaga malam, saat ini dinilai lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Kenyataan di banyak tempat, bahwa jaga malam menjadi ajang bagi laki-laki Aceh untuk ghibah (mengumpat), dan menjadikannya sebagai media berjudi (domino atau peeh batee). Imej negatif pun melekat erat, celakanya kegiatan ini menjadi ajang transfer “tabiat buruk” oleh kalangan tua kepada remaja/pemuda usia 17 tahun yang sudah dilibatkan dalam kegiatan tersebut.
Tidak heran, situasi ini apabila tidak segera dihentikan akan berdampak pada krisis moral dan kepribadian yang tidak berkesudahan sebagai ureung Aceh yang konon pemeluk Islam fanatik. Maka benar, pernyataan Pj Gubernur Aceh bahwa kegiatan jaga malam telah menimbulkan keresahan masyarakat. Bagaimana tidak, hampir mayoritas pos jaga di sejumlah wilayah di Aceh, bersisian dengan tempat ibadah semisal masjid atau meunasah, bahkan ada yang menjadikan tempat ibadah sebagai pos jaga.
Tinggal sejarah
Dalam konteks Ilmu Negara sekali pun, keharusan warga negara sebagai “penjaga malam” sudah tinggal sejarah. George Jellinek sebagai `Bapak Ilmu Negara” menjelaskan bahwa konsep “Negara Penjaga Malam” sudah lama ditinggalkan masyarakat dunia, karena konsep tersebut menempatkan sisi penguasa secara absolut sebagai pihak yang harus dilayani, dan menjadi ciri negara otoritarian, sebaliknya memposisikan warga negara sebagai pekerja atau pihak yang melayani penguasa.
Berbeda halnya dengan konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) yang mengilhami banyak negara-negara maju dan modern di akhir abad ke-19. Dalam konsep ini, penguasa merupakan pelayan masyarakat bukan sebaliknya, karena segala potensi yang dimiliki negara mulai sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA), dikelola secara optimal oleh penguasa dan diperuntukkan dalam rangka mensejahterakan warganya.
Di akhir tulisan ini, penting bagi semua pihak untuk tidak terjebak dan mencurigai rakyat. Imbauan jaga malam tanpa penjelasan yang rasional dengan urgensitas pelaksanaannya, dapat disinyalir bahwa Aceh belum aman, dan ini dapat berdampak luas terhadap berbagai sektor pembangunan yang sedang dirintis. Oleh karena itu, sebagai bagian utuh dari NKRI yang tertib, aman dan damai, kebijakan yang bersifat ‘imbauan’ ini perlu ditinjau kembali.
0 comments:
Post a Comment